tarekattasawuf. 2. Ayat Tentang Akidah Bermuatan Tasawuf Banyak ayat-ayat al-Qur‟an tentang akidah yang bermuatan tasawuf baik secara eksplisit apa lagi implisit. Sebagai fokus bahasan ketasawufan dalam hal 5 Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur'an, (Bandung: Mizan, 1999), h. 98.
PENGERTIAN TENTANG TASAWUF Secara bahasa tasawuf diartikan sebagai Sufisme bahasa arab تصوف adalah ilmu untuk mengetahui bagaimana cara menyucikan jiwa, menjernihan akhlaq, membangun dhahir dan batin, untuk memporoleh kebahagian yang abadi. Tasawuf pada awalnya merupakan gerakan zuhud menjauhi hal duniawi dalam Islam, dan dalam perkembangannya melahirkan tradisi mistisme Islam. Tarekat pelbagai aliran dalam Sufi sering dihubungkan dengan Syiah, Sunni, cabang Islam yang lain, atau kombinasi dari beberapa tradisi[rujukan?]. Pemikiran Sufi muncul di Timur Tengah pada abad ke-8, sekarang tradisi ini sudah tersebar ke seluruh belahan dunia Wikipedia bahasa Indonesia. Ada beberapa sumber perihal etimologi dari kata "Sufi". Pandangan yang umum adalah kata itu berasal dari Suf صوف, bahasa Arab untuk wol, merujuk kepada jubah sederhana yang dikenakan oleh para asetik Muslim. Namun tidak semua Sufi mengenakan jubah atau pakaian dari wol. Teori etimologis yang lain menyatakan bahwa akar kata dari Sufi adalah Safa صفا, yang berarti kemurnian. Hal ini menaruh penekanan pada Sufisme pada kemurnian hati dan jiwa. Teori lain mengatakan bahwa tasawuf berasal dari kata Yunani theosofie artinya ilmu ketuhanan. Yang lain menyarankan bahwa etimologi dari Sufi berasal dari "Ashab al-Suffa" "Sahabat Beranda" atau "Ahl al-Suffa" "Orang orang beranda", yang mana adalah sekelompok muslim pada waktu Nabi Muhammad yang menghabiskan waktu mereka di beranda masjid Nabi, mendedikasikan waktunya untuk berdoa Wikipedia bahasa Indonesia. Namun dalam perjalananya, tasawuf diperdebatkan asal usul kehadiranya. Sebagian menyebut tasawuf berasal dari agama islam, sebagian lagi menyatakan bahwa tyasawuf bukan berasal dari islam tetapi dari sinkretisme berbagai ajaran agama samawi maupun ardi. Beberpa pendapat yang menyatakan tasawuf berasal dari islam diantaranya Asal-usul ajaran sufi didasari pada sunnah Nabi Muhammad. Keharusan untuk bersungguh-sungguh terhadap Allah merupakan aturan di antara para muslim awal, yang bagi mereka adalah sebuah keadaan yang tak bernama, kemudian menjadi disiplin tersendiri ketika mayoritas masyarakat mulai menyimpang dan berubah dari keadaan ini. Nuh Ha Mim Keller, 1995 Seorang penulis dari mazhab Maliki, Abd al-Wahhab al-Sha'rani mendefinisikan Sufisme sebagai berikut "Jalan para sufi dibangun dari Qur'an dan Sunnah, dan didasarkan pada cara hidup berdasarkan moral para nabi dan yang tersucikan. Tidak bisa disalahkan, kecuali apabila melanggar pernyataan eksplisit dari Qur'an, sunnah, atau ijma." [11. Sha'rani, al-Tabaqat al-Kubra Kairo, 1374, I, 4.] Beberapa pendapat bahwa tasawuf bukan berasal dari islam diantaranya Sufisme berasal dari bahasa Arab suf, yaitu pakaian yang terbuat dari wol pada kaum asketen yaitu orang yang hidupnya menjauhkan diri dari kemewahan dan kesenangan. Dunia Kristen, neo platonisme, pengaruh Persi dan India ikut menentukan paham tasawuf sebagai arah asketis-mistis dalam ajaran Islam Mr. Hiltermann & De Woestijne. Sufismeyaitu ajaran mistik mystieke leer yang dianut sekelompok kepercayaan di Timur terutama Persi dan India yang mengajarkan bahwa semua yang muncul di dunia ini sebagai sesuatu yang khayali als idealish verschijnt, manusia sebagai pancaran uitvloeisel dari Tuhan selalu berusaha untuk kembali bersatu dengan DIA J. Kramers Jz. Al Quran pada permulaan Islam diajarkan cukup menuntun kehidupan batin umat Muslimin yang saat itu terbatas jumlahnya. Lambat laun dengan bertambah luasnya daerah dan pemeluknya, Islam kemudian menampung perasaan-perasaan dari luar, dari pemeluk-pemeluk yang sebelum masuk Islam sudah menganut agama-agama yang kuat ajaran kebatinannya dan telah mengikuti ajaran mistik, keyakinan mencari-cari hubungan perseorangan dengan ketuhanan dalam berbagai bentuk dan corak yang ditentukan agama masing-masing. Perasaan mistik yang ada pada kaum Muslim abad 2 Hijriyah yang sebagian diantaranya sebelumnya menganut agama Non Islam, semisal orang India yang sebelumnya beragama Hindu, orang-orang Persi yang sebelumnya beragama Zoroaster atau orang Siria yang sebelumnya beragama Masehi tidak ketahuan masuk dalam kehidupan kaum Muslim karena pada mereka masih terdapat kehidupan batin yang ingin mencari kedekatan diri pribadi dengan Tuhan. Keyakinan dan gerak-gerik akibat paham mistik ini makin hari makin luas mendapat sambutan dari kaum Muslim, meski mendapat tantangan dari ahli-ahli dan guru agamanya. Maka dengan jalan demikian berbagai aliran mistik ini yang pada permulaannya ada yang berasal dari aliran mistik Masehi, Platonisme, Persi dan India perlahan-lahan mempengaruhi aliran-aliran di daam Islam Aceh. Paham tasawuf terbentuk dari dua unsur, yaitu 1 Perasaan kebatinan yang ada pada sementara orang Islam sejak awal perkembangan Agama Islam,2 Adat atau kebiasaan orang Islam baru yang bersumber dari agama-agama non-Islam dan berbagai paham mistik. Oleh karenanya paham tasawuf itu bukan ajaran Islam walaupun tidak sedikit mengandung unsur-unsur Ajaran Islam, dengan kata lain dalam Agama Islam tidak ada paham Tasawuf walaupun tidak sedikit jumah orang Islam yang menganutnya MH. Amien Jaiz, 1980. Tasawuf dan sufi berasal dari kota Bashrah di negeri Irak. Dan karena suka mengenakan pakaian yang terbuat dari bulu domba Shuuf, maka mereka disebut dengan "Sufi". Soal hakikat Tasawuf, ia itu bukanlah ajaran Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam dan bukan pula ilmu warisan dari Ali bin Abi Thalib Radiyallahu anhu. Menurut Asy Syaikh Ihsan Ilahi Zhahir rahimahullah berkata “Tatkala kita telusuri ajaran Sufi periode pertama dan terakhir, dan juga perkataan-perkataan mereka baik yang keluar dari lisan atau pun yang terdapat di dalam buku-buku terdahulu dan terkini mereka, maka sangat berbeda dengan ajaran Al Qur’an dan As Sunnah. Dan kita tidak pernah melihat asal usul ajaran Sufi ini di dalam sejarah pemimpin umat manusia Muhammad Shallallahu alaihi wassalam, dan juga dalam sejarah para shahabatnya yang mulia, serta makhluk-makhluk pilihan Allah Ta’ala di alam semesta ini. Bahkan sebaliknya, kita melihat bahwa ajaran Sufi ini diambil dan diwarisi dari kerahiban Nashrani, Brahma Hindu, ibadah Yahudi dan zuhud Buddha" - At Tashawwuf Al Mansya’ Wal Mashadir, hal. 28.Ruwaifi’ bin Sulaimi, Lc Para ahli yang menolak tasawuf sebagai bagian dari islam mengambil contoh kesalahan pemahaman tasawuf yaitu Faham Wujud. Faham wujud adalah berisi keyakinan bahwa manusia dapat bersatu dengan Tuhan. Penganut paham kesatuan wujud ini mengambil dalil Al Quran yang dianggap mendukung penyatuan antara ruh manusia dengan Ruh Allah dalam penciptaan manusia pertama, Nabi Adam AS “...Maka apabila telah Kusempurnakan kejadiannya dan Kutiupkan kepadanya roh Ku; maka hendaklah kamu tersungkur dengan bersujud kepadanya As Shaad; 72” Sehingga ruh manusia dan Ruh Allah dapat dikatakan bersatu dalam sholat karena sholat adalah me-mi'rajkan ruh manusia kepada Ruh Allah Azza wa Jalla . Atas dasar pengaruh 'penyatuan' inilah maka kezuhudan dalam sufi dianggap bukan sebagai kewajiban tetapi lebih kepada tuntutan bathin karena hanya dengan meninggalkan/ tidak mementingkan dunia lah kecintaan kepada Allah semakin meningkat yang akan bepengaruh kepada 'penyatuan' yang lebih mendalam. Paham ini dikalangan penganut paham kebatinan juga dikenal sebagai paham manunggaling kawula lan gusti yang berarti bersatunya antara hamba dan Tuhan Wikipedia bahasa Indonesia. Dasar-Dasar Qur`ani Tasawuf Para pengkaji tentang tasawuf sepakat bahwasanya tasawuf berazaskan kezuhudan sebagaimana yang diperaktekkan oleh Nabi Saw, dan sebahagian besar dari kalangan sahabat dan tabi'in. Kezuhudan ini merupakan implementasi dari nash-nash al-Qur'an dan Hadis-hadis Nabi Saw yang berorientasi akhirat dan berusaha untuk menjuhkan diri dari kesenangan duniawi yang berlebihan yang bertujuan untuk mensucikan diri, bertawakkal kepada Allah Swt, takut terhadap ancaman-Nya, mengharap rahmat dan ampunan dari-Nya dan lain-lain. Meskipun terjadi perbedaan makna dari kata sufi akan tetapi jalan yang ditempuh kaum sufi berlandasakan Islam. Diantara ayat-ayat Allah yang dijadikan landasan akan urgensi kezuhudan dalam kehidupan dunia adalah firman Allah dalam al-Qur'an yang Artinya “Barang siapa yang menghendaki keuntungan di akhirat akan kami tambah keuntungan itu baginya dan barang siapa yang menghendaki keuntungan di dunia kami berikan kepadanya sebagian dari keuntungan dunia dan tidak ada baginya suatu bahagianpun di akhirat”. Asy-Syuura [42] 20. Diantara nash-nash al-Qur'an yang mememerintahkan orang-orang beriman agar senantiasa berbekal untuk akhirat adalah firman Allah dalam al-Hadid [57] ayat 20 yang Artinya “Ketahuilah, bahwa Sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah- megah antara kamu serta berbangga-banggaan tentang banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani; Kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning Kemudian menjadi hancur. dan di akhirat nanti ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridhaan-Nya. dan kehidupan dunia Ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu”. Ayat ini menandaskan bahwa kebanyakan manusia melaksanakan amalan-amalan yang menjauhkannya dari amalan-amalan yang bermanfaat untuk diri dan keluarganya, sehingga mereka dapat kita temukan menjajakan diri dalam kubangan hitamnya kesenangan dan gelapnya hawa nafus mulai dari kesenangan dalam berpakaian yang indah, tempat tinggal yang megah dan segala hal yang dapat menyenangkan hawa nafsu, berbangga-bangga dengan nasab dan banyaknya harta serta keturunan anak dan cucu. Akan tetapi semua hal tesebut bersifat sementar dan dapat menjadi penyebab utama terseretnya seseorang kedalam azab yang sangat pedih pada hari ditegakkannya keadilan di sisi Allah, karena semua hal tersebut hanyalah kesenangan yang melalaikan, sementara rahmat Allah hanya terarah kepada mereka yang menjauhkan diri dari hal-hal yang melallaikan tersebut. Ayat al-Qur'an lainnya yang dijadikan sebagai landasan kesufian adalah ayat-ayat yang berkenaan dengan kewajiban seorang mu'min untuk senantiasa bertawakkal dan berserah diri hanya kepada Allah swt semata serta mencukupkan bagi dirinya cukup Allah sebagai tempat menggantungkan segala urusan, ayat-ayat al-Qur'an yang menjelaskan hal tersebut cukup variatif tetapi penulis mmencukupkan pada satu diantara ayat –ayat tersebut yaitu firman Allah dalam ath-Thalaq [65] ayat 3 yang Artinya “Dan memberinya rezki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan keperluannya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan yang dikehendaki Nya. Sesungguhnya Allah Telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu”. Dianatra ayat-ayat al-Qur'an yang menjadi landasan munculnya kezuhudan dan menjadi jalan kesufian adalah ayat-ayat yang berbicara tentang rasa takut kepadan Allah dan hanya berharap kepada-Nya diantaranya adalah firman Allah dalam as-Sajadah [ ] ayat 16 yang berbunyi yang Artinya “Lambung mereka jauh dari tempat tidurnya dan mereka selalu berdoa kepada Rabbnya dengan penuh rasa takut dan harap Maksud dari perkataan Allah Swt "Lambung mereka jauh dari tempat tidurnya" adalah bahwa mereka tidak tidur di waktu biasanya orang tidur untuk mengerjakan shalat malam”. Terdapat banyak ayat yang berbicara tentang urgensi rasa takut dan pengharapan hanya kepada Allah semata akan tetapi penulis cukupkan pada kedua ayat terdahulu. Diantara ayat-ayat yang menjadi landasan tasawuf adalah nash-nash Qura'ny yang menganjurkan untuk beribadah pada malam hari baik dalam bentuk bertasbih ataupun quyamullail diantaranya adalah firman Allah yang Artinya Dan pada sebahagian malam hari bersembahyang tahajudlah kamu sebagai suatu ibadah tambahan bagimu; Mudah-mudahan Tuhan-mu mengangkat kamu ke tempat yang Terpuji. al-Isra' [17] ayat 79 yang Artinya “Dan sebutlah nama Tuhanmu pada waktu pagi dan petang. Dan pada sebagian dari malam, Maka sujudlah kepada-Nya dan bertasbihlah kepada-Nya pada bagian yang panjang dimalam hari”. al-Insan [76] ayat 25-26 yang Artinya “Dan orang yang melalui malam hari dengan bersujud dan berdiri untuk Tuhan mereka” Tiga ayat di atas menunjukkan bahwa mereka yang senantiasa menjauhi tempat tidur di malam hari dengan menyibukkan diri dalam bertasbih dan menghidupkan malam-malamnya dengan shalat dan ibadah-ibadah sunnah lainnya hanya semata-mata untuk mengharapkan rahmat, ampunan, ridha, dan cinta Tuhannya kepadanya akan mendapatkan maqam tertinggi di sisi Allah. Selain daripada hal-hal yang telah penulis uraikan sbelumnya, diantara pokok-pokok ajaran tasawuf adalah mencintai Allah dengan penuh ketulusan dan keikhlasan hal ini berlandaskan kepada firman Allah swt dalam at-Taubah ayat 24 yang Artinya ”Katakanlah "Jika bapa-bapa, anak-anak, saudara-saudara, isteri-isteri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai dari Allah dan RasulNya dan dari berjihad di jalan nya, Maka tunggulah sampai Allah mendatangkan Keputusan-Nya". dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik”. Ayat ini menunjukkan bahwa kecintaan terhadap Allah, Rasul-Nya dan berjihad di jalan-Nya harus menjadi prioritas utama di atas segala hal, bahkan kecintaan kepada Allah dan Rasul-Nya harus melebihi di atas kecintaan kepada ayah, ibu, anak, istri, keluarga, harta, perniagaan dan segala hal yang bersifat duniawi, atau dengan kata lain bahwa seseorang yang ingin mendapatkan kebahagiaan hidup di dunia dan mendambakan tempat terbaik diakhirat hendaknya menjadikan Allah dan Rasul-Nya sebagai kecintaan tertinggi dalam dirinya Shareon whatsapp. Sikap Kalangan Tasawuf Dalam Ibadah Dan Agama. Orang-orang tasawuf -khususnya generasi terakhir- memiliki tata cara ibadah yang berbeda dari pedoman para salaf (ulama terdahulu) dan jauh meninggalkan Al-Quran dan As-Sunnah. Mereka membangun agama dan ibadah mereka berdasarkan simbol-simbol dan istilah yang mereka buat-buat – Tasawuf merupakan salah satu istilah dan bagian dari perkembangan ajaran Islam dari para Sufi. Sementara dalam rukun Islam ataupun rukum Iman, mengenai tasawuf ini memang tak bisa dijelaskan secara eksplisit. Namun, tasawuf sendiri dianggap berasal dari beberapa pengaruh ajaran agama dan filsafat lainnya yang akhirnya diadopsi kedalam konsep Islam. Lalu bagaimana bunyi dalil tasawuf itu sendiri?Meski demikian Muhammad Amin al-Kurdy memberikan pengertian bahwa tasawuf adalah ilmu yang digunakan untuk mengetahui kebaikan dan keburukan jiwa sera membersihkan keburukan-keburukan tersebut dengan sifat-sifat TasawufDalam hal ini, tasawuf termaktub dalam Surat Al A’la ayat 14-15,قَدْ أَفْلَحَ مَنْ تَزَكَّىٰ وَذَكَرَ اسْمَ رَبِّهِ فَصَلَّىٰArtinya Sesungguhnya beruntunglah orang yang membersihkan diri dengan beriman, dan dia ingat nama Tuhannya, lalu dia merangkum, perilaku manusia entah yang baik atau buruk, bergantung pada hati yang ia pelihara. Sejatinya, hati yang bersih akan membawa manusia pada kedamaian dan ketentraman yang sejati dan menyejukkan hati sesama ataupun hati yang kerap dengki dan iri akan menjadi hati yang kotor sehingga membawa pada kehancuran, kekacauan, dan keresahan. Hal tersebut akan berdampak pada kehancuran manusia dan hati yang bening akan senantiasa terwujud pada diri manusia itu sendiri ketika memperbaiki hubungannya dengan Sang Ilahi. Sebagaimana Allah SWT berfirman dalam surat ar-Rad ayat 28 sebagai berikutالَّذِينَ آمَنُوا وَتَطْمَئِنُّ قُلُوبُهُمْ بِذِكْرِ اللَّهِ ۗ أَلَا بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُArtinya yaitu orang-orang yang beriman dan hati mereka manjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi itu dalam QS Al Anfal ayat 17,فَلَمْ تَقْتُلُوهُمْ وَلَٰكِنَّ اللَّهَ قَتَلَهُمْ ۚ وَمَا رَمَيْتَ إِذْ رَمَيْتَ وَلَٰكِنَّ اللَّهَ رَمَىٰ ۚ وَلِيُبْلِيَ الْمُؤْمِنِينَ مِنْهُ بَلَاءً حَسَنًا ۚ إِنَّ اللَّهَ سَمِيعٌ عَلِيمٌArtinya Maka yang sebenarnya bukan kamu yang membunuh mereka, akan tetapi Allahlah yang membunuh mereka, dan bukan kamu yang melempar ketika kamu melempar, tetapi Allah-lah yang melempar. Allah berbuat demikian untuk membinasakan mereka dan untuk memberi kemenangan kepada orang-orang mukmin, dengan kemenangan yang baik. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha itu tasawuf dipahami sebagai manusia yang dekat dengan Tuhannya yang merupakan ajaran dasar lewat firman Allah SWT sebagai berikutوَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ ۖ أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ ۖ فَلْيَسْتَجِيبُوا لِي وَلْيُؤْمِنُوا بِي لَعَلَّهُمْ يَرْشُدُونَArtinya Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka jawablah, bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi segala perintah-Ku dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam Tasawuf berdasarkan Kisah RasulullahDari berbagai hadits, Rasulullah SAW diketahui hidup dengan sangat sederhana. Bahkan terkadang Rasulullah mengenakan pakaian tambalan. Beliau tidak makan dan minum selain yang halal dan senantiasa beribadah kepada Allah SWT pagi dan malam. Hingga suatu hari Siti Aisyah bertanya, “Mengapa engkau seperti ini ya Rasulullah, padahal Allah SWT senantiasa mengampuni dosamu?”Rasulullah pun menjawab, “Apakah engkau tidak menginginkan aku menjadi hamba yang bersyukur kepada Allah?”Tak hanya itu, dalam hadits lain juga banyak dijumpai Rasulullah berbicara tentang kehidupan tasawuf seperti,“Barangsiapa yang mengenal dirinya sendiri berarti ia mengenal Tuhannya”Dalil Tasawuf dalam Al Qur’anBeberapa sufi menyandarkan dasar-dasar pemahaman mereka melalui ayat-ayat Al Qur’an. Adapun ayat-ayat tersebut sebagai berikut1. QS Al Baqarah 115“Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, maka kemanapun kamu menghadap di situlah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha Luas rahmat-Nya lagi Maha Mengetahui.”Dari ayat tersebut kita belajar untuk memahami rahmat Allah SWT yang maha luas dan QS Al Baqarah 186“Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka jawablah, bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdo’a apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi segala perintah-Ku dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran.”Ayat berikutnya membuat kita memahami betapa Allah SWT dekat kepada kita, QS Qaf 16“Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya, dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya.”Dari ayat ini kita belajar bahwa Allah SWT senantiasa dekat dengan hamba-Nya, melebihi nadi di QS Al Kahfi 65“Lalu mereka bertemu dengan seorang hamba di antara hamba-hamba Kami, yang telah Kami berikan kepadanya rahmat dari sisi Kami, dan yang telah Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami.”Dalam ayat ini kita belajar bahwa rahmat Allah SWT senantiasa luas kepada dalil-dalil mengenai tasawuf yang bisa kita ambil pelajaran dari ayat-ayat tersebut. semoga artikel ini bermanfaat dan bisa membawa kebaikan aamiin.. Iajuga sebagai al-Dzikru (peringatan) (al-Hijr/15:9) agar manusia hidup bahagia dunia dan akhirat. Tasawuf lahir karena didorong oleh ajaran Islam sebagaimana yang terkandung dalam sumbernya al-Qur'an dan Hadist. Yakni mendorong untuk hidup sufistik. Selain itu kedua sumber itu mendorong agar umatnya berperilaku baik, tolong menolong
Tasawuf adalah bagian dari perkembangan ajaran islam dari para sufi. Dalam rukun islam dan rukun iman mengenai tasawuf memang tidak terdapat secara eksplisit. Ajaran tasawuf sendiri dianggap berasal dari berbagai pengaruh ajaran agama atau filsafat lain yang akhirnya diadopsi dan disesuaikan dengan konsep islam. Untuk itu terdapat pro kontra mengenai hal tersebut. Tentu saja hal ini tidak boleh bertentangan dengan Fungsi Iman Kepada Kitab Allah, Fungsi Iman Kepada Allah SWT, dan Fungsi Al-quran Bagi Umat adalah pengertian tasawuf dalam berbagai sudut EtimologiPengertian tasawuf menurut etimologi juga pendekatan lainnya, terdapat perbedaan. Secara umum, diantara perbedaan tersebut tentu ada garis merah atau benang merah yang dapat dari Kata Shuffah Tasawuf berasal dari istilah shuffah. Shuffah berarti serambi tempat duduk. Suffah berasal di serambi masjid Madinah yang disediakan untuk mereka yang belum memiliki tempat tinggal atau rumah dan dari orang-orang muhajirin yang ada di Masa Rasulullah SAW. Mereka dipanggi sebagai Ahli Suffah atau Pemilik Sufah karena di serambi masjid Madinah itulah tempat dari Kata ShafSelain itu, istilah tawasuf juga berasal dari kata Shaf. Shaf memiliki arti barisan. Istilah ini dilekatkan kepada tasawuf karena mereka, para kaum sufi, memiliki iman yang kuat, jiwa dan hati yang suci, ikhlas, bersih, dan mereka senantiasa berada dalam barisan yang terdepan jika melakukan shalat berjamaah atau dalam melakukan dari Kata Shafa dan Shuafanah Istilah Tasawuf juga ada yang mengatakan berasal dari kata shafa yang artinya bersih atau jernih dan kata shufanah yang memiliki arti jenis kayu yang dapat bertahan tumbuh di daerah padang pasir yang dari Kata ShufPengertian Tasawuf juga berasal dari kata Shuf yang berarti bulu domba. Pengertian ini muncul dikarenakan kaum sufi sering menggunakan pakaian yang berasal dari bulu domba kasar. Hal ini melambangkan bahwa mereka menjunjung kerendahan hati serta menghindari sikap menyombongkan diri. Selain itu juga sebagai simbol usaha untuk meninggalkan urusan-urusan yang bersifat duniawi. Orang-orang yang menggunakan pakaian domba tersebut dipanggil dengan istilah Mutashawwif dan perilakunya disebut TerminologiPengertian tasawuf menurut terminologi dari para ahli sufi juga terdapat varian-varian yang berbeda. Hal ini dapat dijelaskan dari berbagai pandangan sufi berikutMenurut Imam JunaidMenurut seorang sufi yang berasal dari Baghdad dan bernama Imam Junaid, Tasawuf memiliki definisi sebagai mengambil sifat mulia dan meninggalkan setiap sifat Syekh Abul Hasan Asy-SyadziliSyekh Abul Hasan Asy-Syadzili adalah seorang syekh yang berasal dari Afrika Utara. Sebagai seorang sufi ia mendefinisikan tasawuf sebagai proses praktek dan latihan diri melalui cinta yang mendalam untuk ibadah dan mengembailikan diri ke jalan Al-TusturySahal Al Tustury mendefinisikan tasawuf sebaai terputusnya hubungan dengan manusia dan memandang emas dan kerikil. Hal ini tentu ditunjukkan untuk terus menerus berhubungan dan membangun kecintaan mendalam pada Allah Ahmad ZorruqMenurut Syeikh Ahmaz Zorruq yang berasal dari Maroko, Tasawuf adalah ilmu yang dapat memperbaiki hati dan menjadikannya semata-mata untuk Allah dengan menggunakan pengetahuan yang ada tentang jalan islam. Pengetahuan ini dikhususkan pada pengetahuan fiqh dan yang memiliki kaitan untuk mempebaiki amalan dan menjaganya sesuai dengan batasan syariah islam. Hal ini ditujukan agar kebikjasanaan menjadi hal yang UmumDari pengertian tasawuf secara etimologi dan terminologi dapat diambil kesimpulan bahwa Tasawuf adalah pelatihan dengan kesungguhan untuk dapat membersihkan, memperdalam, mensucikan jiwa atau rohani manusia. Hal ini dilakukan untuk melakukan pendekatan atau taqarub kepada Allah dan dengannya segala hidup dan fokus yang dilakukan hanya untuk Allah itu, tasawuf tentu berkaitan dengan pembinaan akhlak, pembangunan rohani, sikap sederhana dalam hidup, dan menjauhi hal-hal dunia yang dapat melenakan. Tentu hal ini bisa membantu manusia dalam mencapai tujuannya dalam hidup. Untuk itu, praktik tasawuf ini dapat dilakukan oleh siapapun yang ingin membangun akhlak yang baik, sikap terpuji, kesucian jiwa, dan kembalinya pada Illahi dalam kondisi yang umum, tentu ajaran tasawuf jika dikembangkan tidak boleh bertentangan dan juga bersebrangan dengan ajaran yang berasal dari Wahyu Al Quran dan Sunnah Rasulullah. Sebagai bentuk kecintaan manusia kepada Rasulullah tentunya juga harus tetap melaksanakan ibadah sebagaimana Rasul Tasawuf dalam Al-QuranMengenai tasawuf, beberapa sufi menyandarkan pengertian dan dasar-dasarnya kepada ayat-ayat Al-Quran. Ajaran tasawuf diidentikkan dengan ajaran islam walaupun agama lain juga memiliki hal yang serupa dengan tasawuf. Berikut adalah ayat-auat Al-Quran yang berkenaan dengan dasar tasawuf menurut para sufiQS Al Baqarah 115“Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, maka kemanapun kamu menghadap di situlah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha Luas rahmat-Nya lagi Maha Mengetahui.”QS Al Baqarah 186 “Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka jawablah, bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdo’a apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi segala perintah-Ku dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran.”QS Qof 16 “Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya, dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya.” QS Al Kahfi 65 “Lalu mereka bertemu dengan seorang hamba di antara hamba-hamba Kami, yang telah Kami berikan kepadanya rahmat dari sisi Kami, dan yang telah Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami.”Dalam pelaksanaan praktik tasawuf, tentunya manusia jangan sampai lupa dan meninggalkan juga bagaimana aktivitas kehidupan berdasarkan Tujuan Penciptaan Manusia , Proses Penciptaan Manusia , Hakikat Penciptaan Manusia , Konsep Manusia dalam Islam, dan Hakikat Manusia Menurut Islam sesuai dengan fungsi agama praktik tasawuf bukan berarti sama dengan meninggalkan juga usaha untuk dapat Sukses Dunia Akhirat Menurut Islam, dengan Cara Sukses Menurut Islam. Dunia Menurut Islam memang bukanlah segala-galanya, dan tidak boleh terlena dengannya. Namun Allah pun juga menyuruh manusia untuk dapat mengoptimalkan kehidupan dunia agar dapat meraih Sukses Menurut Islam.

Padaperkembangan selanjutnya, terdapat dua aliran dalam tasawuf, dan keduanya sangat mewarnai dalam penafsiran al-Qur'an, yaitu: aliran tasawuf teoritis dan aliran tasawuf praktis : yakni tasawuf yang dihasilkan oleh praktik gaya hidup zuhud dalam rangka melaksanakan ketaatan kepada Allah. Hal ini terbagi menjadi dua bagian, yaitu: Tafsir

BAB I PENDAHULUAN Apabila kita melihat zaman sekarang banyak orang-orang yang mengejar kemewahan dunia, dan berlebih-lebihan dalam mencintai keindahan dunia seolah-olah akan hidup selamanya di dunia ini. Namun, pada akhirnya mereka menyesal setelah mendapat suatu musibah dan banyak yang sadar karena kesenangan dunia itu tidak bisa membuat orang tenang dan tentram. Dengan demikian mereka mancari ketenangan dan kedamaian yang dibutuhkan oleh sentuhan-sentuhan spiritual atau rohani yang bisa diperoleh dengan mendekatkan diri kepada Sang Pencipta. Dalam makalah ini penulis mencoba membahas sedikit tentang dasar atau landasan-landasan yang sering digunakan oleh para sufi dalam bertasawuf. Landasan Al-Qur’an dan Hadist merupakan acuan pokok yang selalu dijadikan oleh umat Islam untuk berbuat dan bertindak. Dalam penulisan makalah ini tidak lepas dari kekurangan dan kesalahan, sebagai manusia biasa yang tidak pernah luput dari salah dan lupa, makalah ini juga belum bisa dikatakan sempurna. Oleh sebab itu, pemakalah meminta kepada Bapak Dosen dan rekan-rekan mahasiswa agar memberikan kritik dan saran agar makalah ini nanti lebih baik dan sempurna bahasannya. Atas kritik dan saran-saran yang diberikan Bapak Dosen ataupun rekan-rekan mahasiswa, pemakalah lebih dulu mengucapkan terima kasih banyak, sehingga makalah ini nanti bisa lebih bagus. BAB II PERMASALAHAN Dalam menjalankan kehidupan sehari-hari kita sering mendengar pertanyaan-pertanyaan yang meminta atas landasan atau dasar apa kita berbuat sesuatu. Ataupun langsung orang lain bertanya kepada kita apa dasar al-Qur’an dan hadistnya anda berkata demikian? Pertanyaan-pertanyaan seperti ini sering dilontarkan kepada kita ketika orang itu menerima atau menemukan persoalan-persoalan yang baru atau persoalan-persoalan yang unik yang mereka temui. Oleh sebab itu landasan atau dasar-dasar tasawuf dalam Al-Qur’an dan Hadis urgen untuk dibahas. Karena tanpa kajian yang khusus kita tidak bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut. Karena masa modern ini kita harus lebih banyak mengkaji dan berpegang kepada Al-Qur’an dan Hadis yang ditinggalkan oleh Nabi Muhammad sebagai pedoman bagi kita supaya kita tidak terbawa arus globalisasi yang semakin merajalela ini. BAB III PEMBAHASAN A. Pengertian Tasawuf Secara etimologi, pengertian tasawuf dapat dilihat menjadi beberapa macam pengertian, yaitu ; 1. Ahlu suffah , yang berarti sekelompok orang dimasa Rasulullah yang hidupnya banyak berdiam diserambi-serambi mesjid, dan mereka mengabdikan hidupnya untuk beribadah kepada Allah. 2. Safa , orang-orang yang mensucikan dirinya dihadapan Tuhan-Nya. 3. Shaf , orang-orang yang ketika shalat selalau berada di shaf yang paling depan. 4. Shuf , yang berarti bulu domba atau wool. Secara terminologi, telah banyak dirumuskan oleh para ahli, yaitu Menurut Juhairi, ketika ditanya tentang tasawuf, lalu ia menjawab “Memasuki segala budi akhlak yang bersifat sunni dan keluar dari budi pekerti yang rendah”. Menurut Junaidi “Tasawuf ialah bahwa yang Hak adalah yang mematikanmu, dan Hak-lah yang menghidupkanmu”. Menurut Abu Hamzah “Tanda sufi yang benar adalah berfakir setelah dia kaya, merendahkan diri setelah dia bermegah-megahan, menyembunyikan diri setelah dia terkenal dan tanda sufi palsu adalah kaya setelah dia fakir, bermegah-megahan setelah dia hina dan tersohor setelah ia tersembunyi”. B. DASAR-DASAR QUR’ANI DAN HADIST TENTANG ILMU TASAWUF Al-Qur’an merupakan kitab Allah yang didalamnya terkandung muatan-muatan ajaran Islam, baik akidah, syarah maupun muamalah. Ketiga muatan tersebut banyak tercermin dalam ayat-ayat yang termaktub dalam Al-Qur’an. Ayat-ayat Al-Qur’an di satu sisi memang ada yang perlu dipahami secara konstektual-rohaniah. Jika dipahami secara lahiriah saja, ayat-ayat Al-Qur’an akan terasa kaku, kurang dinamis, dan tidak mustahil akan ditemukan persoalan yang tidak dapat diterima secara psikis. Secara umum ajaran Islam mengatur kehidupan yang bersifat lahiriah dan batiniah. Pemahaman terhadap unsur kehidupan yang bersifat batiniah pada gilirannya nanti melahirkan tasawuf. Unsur kehidupan tasawuf ini mendapat perhatian yang cukup besar dari sumber ajaran Islam yaitu Al-Qur’an dan As-Sunnah serta praktik kehidupan Nabi dan para sahabatnya.[1] Ayat Al-Qur’an tentang tasawuf secara eksplisit Makna eksplisit adalah makna absolut yang langsung diacu oleh bahasa. Konsep makna ini bersifat denotatif sebenarnya sebagai representasi dari bahasa kognitif. Eksplisit makna/maksud diajukan secara langsung dan jelas Makna eksplisit mengacu pada informasi, sedangkan makna implisit mengacu pada emosi.[2] Dalam Al-Maidah ayat 54 $pkš‰r’¯»tƒ tûïÏ%©!$ qãZtBuä `tB £‰s?ötƒ öNä3YÏB `tã ¾ÏmÏZƒÏŠ t$öq¡sù ’ÎAù’tƒ ª!$ 5QöqsÎ/ öNåk™Ïtä† ÿ¼çmtRq™6Ïtä†ur A’©!όr& ’n?tã tûüÏZÏB÷sßJø9$ >o¨“Ïãr& ’n?tã tûï͍Ïÿ»s3ø9$ šcr߉Îg»pgä† ’Îû ȋÎ6y™ !$ Ÿwur tbqèù$sƒs† sptBöqs9 5OͬIw 4 y7Ï9ºsŒ ãôÒsù !$ ÏmŠÏ?÷sム`tB âä!$t±o„ 4 ª!$ur ììřºur íOŠÎ=tæ ÇÎÍÈ Artinya ; “Hai orang-orang yang beriman, barangsiapa di antara kamu yang murtad dari agamanya, Maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan merekapun mencintaiNya, yang bersikap lemah Lembut terhadap orang yang mukmin, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad dijalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allah Maha luas pemberian-Nya, lagi Maha Mengetahui”. Berdasarkan dasar Al-Qur’an tentang tasawuf secara eksplisit, di atas memiliki ciri-ciri yaitu 1 Allah mencintai mereka dan merekapun mencintai Allah. 2 Bersikap lemah lembut terhadap orang-orang mukmin dan bersikap tegas terhadap orang-orang kafir. Sifat ini merupakan hasil kecintaan kepada Allah. Seorang yang cinta kepada Allah akan menjadi seorang yang arif bijaksana yang akan selalu gembira dan senyum, bersikap lemah lembut karena jiwanya dipenuhi oleh sifat Allah yang paling dominan yaitu rahmat dan kasih sayang. Inilah yang menghasilkan rasa persaudaraan seagama, yang menjadikannya bersikap toleran terhadap kesalahannya, lemah lembut dalam sikap dan perilakunya termasuk ketika menegur atau menasehatinya. Sikap ini yang mengantar seorang muslim merasakan derita saudaranya, sehingga memenuhi kebutuhannya dan melapangkan kesulitannya. Sedang sikap tegas kepada orang-orang kafir, bukan berarti memusuhi pribadinya, atau memaksakan mereka memeluk islam, atau merusak tempat ibadah dan menghalangi mereka melaksanakan tuntutan agama dan kepercayaan mereka tetapi bersikap tegas, terhadap permusuhan mereka, atau upaya-upaya mereka melecehkan ajaran agama dan kaum muslimin. 3 Mereka berjihad di jalan Allah Jihad disini tidak terbatas dalam bentuk mengangkat senjata, tetapi termasuk upaya-upaya membela islam dan memperkaya peradabannya dengan lisan dan tulisan, sambil menjelaskan ajaran islam dan menangkal ide-ide yang bertentangan dengannya lebih-lebih yang memburukannya. 4 Tidak takut kepada celaan pencela Mereka tidak takut dicela bahwa mereka tidak toleran misalnya jika mereka bersikap tegas terhadap orang kafir yang memusuhi islam, tidak juga khawatir dituduh fanatik atau fundamentalis jika menegakkan ukhwah islamiyah.[3] Bahwa kemungkinan manusia dapat saling mencintai mahabbah dengan Tuhan. Hal ini berdasarkan firman Allah dalam Al-Qur’an dalam surah al-Maidah ayat 54 yakni $pkš‰r’¯»tƒ tûïÏ%©!$ qãZtBuä `tB £‰s?ötƒ öNä3YÏB `tã ¾ÏmÏZƒÏŠ t$öq¡sù ’ÎAù’tƒ ª!$ 5QöqsÎ/ öNåk™Ïtä† ÿ¼çmtRq™6Ïtä†ur A’©!όr& ’n?tã tûüÏZÏB÷sßJø9$ >o¨“Ïãr& ’n?tã tûï͍Ïÿ»s3ø9$ šcr߉Îg»pgä† ’Îû ȋÎ6y™ !$ Ÿwur tbqèù$sƒs† sptBöqs9 5OͬIw 4 y7Ï9ºsŒ ãôÒsù !$ ÏmŠÏ?÷sム`tB âä!$t±o„ 4 ª!$ur ììřºur íOŠÎ=tæ ÇÎÍÈ Artinya ”Hai orang-orang yang beriman barang siapa diantara kamu yang murtad dari agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan merekapun mencintai-Nya, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir yang berjihad dijalan Allah dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah diberikan-Nya kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya, dan Allah Maha halus pemberian-Nya lagi Maha Mengetahui. [4] Dari ayat diatas para ahli sufi menafsirkannya bahwa akan datang suatu kaum yang dicintai Allah dan mereka juga mencintai Allah, sebagaimana yang tercantum didalam Tafsir al-Misbah karangan Quraish Shihab bahwa Allah mencintai mereka dan merekapun mencintai Allah. Cinta Allah kepada hamba-Nya dipahami para mufassir dalam arti limpahan kebaikan dan anugerah-Nya. Cinta Allah dan karunianya tidak terbatas dan cinta manusia kepada Allah bertingkat-bertingkat, tetapi yang jelas adalah cinta kepada-Nya merupakan dasar dan prinsip perjalanan menuju Allah, sehingga semua peringkat maqam dapat mengalami kehancuran kecuali cinta. Cinta tidak bisa hancur dalam keadaan apapun selama jalan menuju Allah tetap ditelusuri.[5] Bahwa Allah memerintahkan manusia agar senantiasa bertaubat membersihkan diri dan memohan ampunan kepada-Nya sehingga memperoleh cahaya ini sesuai dengan ayat Al-Qur’an surah at-Tahrim ayat 8 yaitu $pkš‰r’¯»tƒ šúïÏ%©!$ qãZtBuä þqç/qè? ’n̍øópRùQ$ur 4 $yJuZ÷ƒr’sù q—9uqè? §NsVsù çmô_ur !$ 4 žcÎ ©!$ ììřºur ÒOŠÎ=tæ ÇÊÊÎÈ Artinya ”Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, maka kemanapun kamu menghadap disitulah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha luas rahmat-Nya lagi Maha Mengetahui.”[8] Bagi kaum sufi ayat tersebut mengandung arti bahwa dimana Tuhan ada, di situ pula Tuhan dapat dijumpai.[9] Maksudnya kapanpun dan dimanapun kita berada Allah selalu bersama kita karena dzat-Nya tidak dibatasi ruang dan waktu dan tidak pula dibatasi oleh tempat. Dalam Al-Qur’an juga dijelaskan tentang kedekatan manusia dengan-Nya seperti yang tercantum dalam surah al-Baqarah ayat 186 yaitu sŒÎur y7s9r’y™ “ÏŠ$t6Ïã ÓÍh_t㠒ÎoTÎ*sù ë=ƒÌs% Ü=‹Å_é& nouqôãyŠ Æí¤$!$ sŒÎ Èb$tãyŠ qç6‹ÉftGó¡uŠù=sù ’Ítø%r& Ïmø‹s9Î ô`ÏB Èö7ym ωƒÍ‘uqø9$ ÇÊÏÈ Artinya “Sebenarnya Kami ciptakan manusia dan Kami tahu apa yang dibisikkannya kepadanya, Kami lebih dekat kepadanya daripada pembuluh darahnya sendiri.” [11] Berdasarkan ayat tersebut kebanyakan dikalangan para sufi berpendapat bahwa untuk mencari Tuhan, orang tidak perlu pergi jauh-jauh. Ia cukup kembali ke dalam dirinya sendiri.[12] Maksudnya kita harus intropeksi diri memuhasabahi diri kita atas apa yang telah kita lakukan dan kita perbuat dan sejauhmana kita mensyukuri anugerah Allah kepada kita. Ayat Al-Qur’an Tentang Tasawuf Secara Implisit Makna implisit adalah makna universal yang disembunyikan oleh bahasa. Konsep makna ini bersifat konotatif kias sebagai representasi dari bahasa emotif. Implisit makna/maksud diajukan tidak secara langsung dan sembunyi-sembunyi. Ada pun ayat-ayat Al-Qur’an yang menjadi landasan tasawuf secara inplisit dapat dilihat dari tingkatan maqam dan keadaan ahwal para sufi yaitu Tingkatan Zuhud yakni tercantum dalam surah An-Nisaa’ ayat 77 yaitu öè% ßì»tFtB $u‹÷R‘‰9$ ׋Î=s% äotÅzFy$ur ׎öyz Ç`yJÏj9 4’s+¨?$ Artinya “Katakanlah kesenangan didunia ini hanya sementara dan akhirat itu lebih baik untuk orang-orang yang bertakwa…”[13] Tingkatan Tawakkal yaitu dalam surah At-Thalak ayat 3 yaitu `tBur ö©.uqtGtƒ ’n?tã !$ uqßgsù ÿ¼mç7ó¡ym 4 Artinya “Dan barang siapa bertawakkal kepada Allah niscaya Allah mencukupkan keperluannya.”[14] Tingkatan Syukur dalam Ibrahim ayat 7 yaitu ûÈõs9 óOè?öx6x© öNä3¯Ry‰ƒÎ—V{ Artinya “Sesungguhnya jika kamu bersyukur pasti akan Kami menambahkan nikmat kepadamu.”[15] Tingkat Sabar berlandaskan Al-Baqarah ayat 155 yaitu ̍Ïe±o0ur šúïΎÉ9»¢Á9$ Artinya ”Dan berikanlah berita gaembira kepada orang-orang yang sabar.”[16] Tingkatan Ridha berdasarkan Al-Maidah ayat 119 yaitu zÓÅ̧‘ ª!$ öNåk÷]tã qàÊu‘ur çm÷Ztã 4 Artinya ”Allah ridha terhadap mereka, dan merekapun ridha terhadap-Nya.” [17] Demikianlah sebagian ayat-ayat Al-Qur’an yang dijadikan para sufi sebagai landasan untuk melaksanakan praktek-praktek kesufiannya. Akan tetapi masih banyak ayat-ayat yang lain yang tidak dicantumkan oleh penulis dalam makalah ini. Hadist Tentang Tasawuf Secara Eksplisit Dalam hadis juga banyak dijumpai keterangan-keterangan yang berbicara tentang kehidupan rohaniah manusia. Di antaranya adalah sebagai berikut Artinya ”Senantiasa seorang hamba itu mendekatkan diri kepada-Ku dengan amalan-amalan sunnah sehingga Aku mencintainya. Maka tatkala mencintainya, jadilah Aku pendengarnya yang dia pakai untuk mendengar dan lidahnya yang dia pakai untuk berbicara dan tangannya yang dia pakai untuk mengepal dan kakinya yang dia pakai untuk berusaha ; maka dengan-Ku-lah dia mendengar, melihat, berbicara, berpikir, meninju dan berpikir.”[18] Dari hadis ini dapat dipahami bahwa manusia dan Tuhan dapat bersatu. Diri manusia dapat lebur dalam diri Tuhan yang selanjutnya dikenal dengan istilah fana, yakni fana’-nya makhluk sebagai yang mencintai kepada Tuhan seperti yang dicintainya. Fana adalah menghilangnya daripada pengenalan ghair, baqa adalah pengetahuan Tuhan, yang di dapat oleh seorang yang sudah menghilangnya pengetahuan tentang ghair. Dalam hal ini nafs kita dalam jalan fana ubudiyyah yakni penghambaan, ibadah dan Tuhan dalam jalan baqaa rububiyyah yakni penguasaan.[19] Artinya “Dari Abi Yahya Suhaib bin Sinan RA ia berkata, Rasulullah SAW bersabda sangat mengagumkan keadaan seorang mukmin. Sesungguhnya segala keadaannya untuknya baik sekali, dan tidak mungkin terjadi demikian kecuali bagi orang mukmin. Kalau mendapat kenikmatan, ia bersyukur, maka bersyukur itu lebih baik baginya. Dan kalau menderita kesusahan ia sabar, maka kesabaran itu lebih baik baginya. HR. Muslim. Hadist tentang tasawuf secara inplisit Artinya Dari Umar bin Khattab ra., katanya Aku mendengar Rasul Allah SAW bersabda ”Semua amal perbuatan itu hanyalah dinilai menurut masing-masing niatnya, dan setiap orang hanyalah menurut apa yang diniatkan. Maka barang siapa yang hijrahnya itu kepada keridhaan Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan barangsiapa yang hijrahnya untuk keduniaan atau wanita yang akan dikawininya, maka hijrahnya itu pun diberi penilaian untuk tujuan apa ia hijrah tadi”. Al-Bukhari. Artinya Dari Ibnu Mas’ud ra. Dari Rasul Allah, bersabda sesungguhnya jujur itu mendorong untuk beramal saleh, dan sesungguhnya amal saleh itu menunjukkan jalan ke surga. Dan seorang yang benar-benar/terus-menerus berbuat jujur sehingga menjiwai dan berbudi, ditetapkan disisi Allah sebagai ahli jujur. Dan sesungguhnya dusta itu mendorong untuk berbuat keji dan perbuatan keji itu menyampaikan ke neraka. Dan seorang yang benar-benar/terus-menerus berdusta, ditetapkan disisi Allah sebagai ahli dusta. Mutafaq Alaih. Dalam Hadist Qudsi juga dijelaskan yaitu Artinya “Tidaklah para hamba yang beribadah kepada-Ku dengan sesuatu yang lebih Aku cintai daripada yang telah Aku fardhukan kepadanya. Dan hamba yang beribadah kepada-Ku dengan perbuatan-perbuatan sunat, maka Aku juga mencintainya. Jika Aku telah mencintainya, maka Aku adalah pendengaran yang ia gunakan untuk mendengar, penglihatan yang ia gunakan untuk melihat, tangan yang ia pakai memegang dan kaki yang ia gunakan untuk berjalan. Dan jika ia memohon perlindungan kepada-Ku, maka Aku akan melindunginya”.[20] Hadis ini menjelaskan bahwa sesungguhnya seorang hamba mampu meninggalkan syahwat dan tenggelam dalam ketaatan, sehingga ia hanya menggunakan anggota badannya sesuai dengan tujuan penciptaannya, sebagai taufik dan hidayah Allah SWT. Hadis ini memberi pengertian, bahwa dasar kecintaan Allah kepada hamba-Nya adalah melalui perbuatan-perbuatan yang sunat. Oleh karena itu, selama seorang hamba beribadah kepada-Nya melalui ibadah-ibadah sunat hingga sampai pada tingkatan cinta kepada-Nya, maka pada saat itu dia mampu tenggelam dengan melihat kesucian Allah, tidak melihat sesuatupun kecuali Allah berada di sisinya. Pengalaman semacam ini merupakan derajat terakhir bagi orang-orang yang menuju akhirat dan jalan pertama bagi orang yang ingin sampai kepada Allah. Dengan mengikuti sunah tercapailah ma’rifat, dengan melakukan perbuatan fardhu tercapailah qurbah dekat dengan Allah dan dengan selalu melaksanakan perbuatan sunat tercapailah mahabbah Allah.[21] Dalam kehidupan Nabi Muhammad SAW, juga terdapat petunjuk yang menggambarkan bahwa beliau adalah sufi. Nabi Muhammad telah mengasingkan diri ke Gua Hira menjelang datangnya wahyu. Beliau menjauhi pola hidup kebendaan yang pada waktu itu diagung-agungkan oleh orang Arab tengah tenggelam didalamnya, seperti dalam peraktek perdagangan dengan prinsip menghalalkan segala cara.[22] 5. Kiat/Cara-Cara Menentukan Ayat Ekspelisit dan Impilisit Meskipun teks-teks Alquran pada mulanya adalah wahyu Tuhan yang transhistoris dan metahistoris, akan tetapi dalam perjalanan selanjutnya ia diturunkan kepada manusia dan untuk menjadi bacaan yang harus dipahami manusia. Kenyataan ini bagaimanapun telah merubah teks-teks suci tersebut menjadi teks-teks yang memasuki ruang dan waktu manusia. Dengan kata lain, Alquran tidak hadir dalam ruang hampa, melainkan berdialog, merespon, dan berinteraksi dengan manusia yang telah eksis berikut segala sistem hidup yang dianut. Secara historis ayat-ayat Alquran yang berjumlah lebih dari 6000 ayat dan dibagi dalam 114 surat tersebut diturunkan kepada masyarakat Arabia abad ke 7 M, dalam rentang waktu sekitar 23 tahun. Ayat-ayat tersebut tidak diturunkan sekaligus, tetapi melalui proses bertahap atau berangsur, berdasarkan kebutuhan yang relevan dengan peristiwa-peristiwa yang dihadapi Nabi. Seluruh surat dan ayat Alquran diturunkan dalam dua fase sejarah sosial yang berbeda. Dua fase ini dikenal dalam terminologi ulum al-Quran sebagai Makkiyyah dan Madaniyyah. Para ahli tafsir merumuskan Makkiyyah adalah ayat-ayat yang diturunkan ketika Nabi masih berada di Mekah. Sebagian ulama membaginya berdasarkan aspek waktu, yakni Makkiyyah adalah ayat-ayat yang diturunkan sebelum Nabi hijrah, pindah ke Madinah. Sedangkan Madaniyah adalah ayat-ayat yang diterima Nabi ketika berada di Madinah atau sesudah hijrah. Pandangan yang lebih tajam, teks tidak semata-mata dilihat dari soal tempat atau waktu turunnya, tetapi pada kondisi audien, penerima, atau pembacanya. Teori tentang ayat-ayat Makkiyyah dan Madaniyyah dengan beragam definisi di atas, pada intinya memperlihatkan bahwa teks-teks Alquran di arahkan pada dua konteks sosial dan audien yang berbeda. Sekaligus berada pada konteks perkembangan risalah yang sedang berjalan guna merespon dan mengatasi problem-problem sosial yang dihadapi. Menurut para ulama teks-teks Makiyyah pada umumnya menekankan tentang ketauhidan kemahaesaan Tuhan dan nilai-nilai kemanusian universal seperti kesetaraan manusia, keadilan, kebebasan, pluralitas, dan penghargaan terhadap martabat manusia. Para ulama Alquran mencirikan pesan risalah periode Makkiyyah, meskipun tidak seluruhnya, dengan misalnya penggunaan kata sapa “ya ayyuha al- Naas” hai manusia; atau “ya Bani Adam” hai anak Adam; dan “kalla” tidak begitu. Teks-teks Alquran pada periode ini dapat dikatakan mengandung gagasan-gagasan yang progresif dan revolusioner. Berbeda dengan di Mekah, audien masyarakat di Madinah, adalah masyarakat yang pada umumnya sudah menganut agama langit samawi seperti Yahudi dan Nasrani, di samping mereka yang telah beriman kepada Nabi Muhajirin dan Anshar. Ayat-ayat Madaniyyah pada umumnya berisi ayat-ayat yang menetapkan aturan-aturan yang lebih rinci, lebih spesifik dan partikular yang menyangkut problem-problem aktual yang dihadapi masyarakat Madinah. Beberapa di antaranya tentang hukum-hukum personal, hukum keluarga famili law, dan aturan-aturan tentang kehidupan bersama dalam masyarakat plural yang telah terbentuk di sana. Ciri-ciri surah atau ayat Madaniyah dapat dikenali antara lain melalui penyebutan kata sapa “ya ayyuhallazdina amanu” wahai orang-orang yang beriman; atau ayat yang berbicara tentang orang-orang munafiq; dan lain-lain. Di sini kita melihat dengan jelas bahwa ayat-ayat Madaniyah menunjukkan pesan-pesan kepada masyarakat plural dari sisi keyakinan, aturan-aturan yang menyangkut urusan-urusan dalam kehidupan praktis, hukum-hukum keluarga dan hudud pidana. Beberapa contoh ayat/surah Madaniyah adalah al-Nisa [4]; al-Nur [24]; al-Ahzab [33]; al-Thalaq [65]; dan lain-lain. Dalam surah-surah ini Alquran membicarakan secara cukup detail tentang sejumlah isu perempuan seperti perkawinan, perceraian, waris, dan yang berkaitan dengan relasi laki-laki dan perempuan lainnya. Penyebutan ciri-ciri di atas –Makiyyah maupun Madaniyyah- diakui para ahli tafsir tidak berlaku menyeluruh pada semua ayat melainkan sebagai ciri-ciri umum saja. Hal ini karena ada ayat-ayat yang menggunakan ciri di atas, misalnya ciri ayat makkiyyah dengan penggunaan kata sapa “ya ayyuha al-Nas”, tetapi diturunkan sesudah hijrah madaniyyah. Boleh jadi hal ini terjadi terkait dengan upaya mengembalikan kesadaran audien tentang pentingnya mendasarkan aturan-aturan sosial pada prinsip-prinsip kemanusiaan universal yang menjadi tujuan agama. Kenyataan sejarah Alquran ini penting dikemukakan agar dapat dipahami bahwa kitab suci ini berdialog secara dinamis dan akomodatif, bernegosiasi dan melakukan interaksi dengan akal dan psiko-sosial masyarakat Arabia pada abad ke 7 H dan dengan subyek audien yang tidak tunggal. Pada sisi lain, historisitas teks-teks Alquran juga muncul dalam pengakuan para ulama tentang teori Nasikh-Mansukh. Ia adalah terminologi yang biasa digunakan oleh para ahli tafsir untuk menunjukkan adanya ayat-ayat yang membatalkan nasikh dan ayat-ayat yang dibatalkan mansukh. Teori ini dimunculkan oleh karena adanya ayat-ayat yang dianggap saling bertentangan, berdasarkan pemahaman literalnya, yang tidak mungkin lagi dapat dikompromikan. Jika ini yang terjadi, maka menurut teori ini ayat-ayat yang diturunkan belakangan nasikh membatalkan ayat-ayat sebelumnya mansukh. Sebagai contoh yang biasa dikemukakan para ulama misalnya adalah persoalan iddah masa menunggu bagi perempuan yang bercerai dari suaminya karena meninggal dunia. Salah satu ayat Alquran menunjukkan bahwa perempuan tersebut harus menunggu di rumah selama satu tahun. Sesudah itu dia bisa bergerak bebas, termasuk untuk menikah lagi. al Baqarah,[2240. Sementara ayat yang lain menyebutkan bahwa masa menunggu iddah perempuan tersebut adalah empat bulan sepuluh hari al Baqarah, 234. Para ulama memandang bahwa ayat yang kedua ini empat bulan sepuluh hari, meskipun secara urutannya dalam mush-haf disebut lebih dahulu, adalah menghapus nasikh terhadap ayat yang kedua satu tahun. Para ulama menyebut penghapusan ini sebagai “naskh al hukm duna al tilawah” menghapus hukumnya, bukan menghapus bacaan/tulisannya. Al Zarkasyi, Al Burhan fi Ulum Alquran, II/37-38. Teori nasikh-mansukh dengan pengertian pembatalan hukum teks yang satu terhadap teks yang lain, dikritik oleh sebagian ulama. Menurut mereka pengertian nasikh-mansukh seperti ini menghadapi problem serius, karena hal itu berarti mengabaikan keabadian, keutuhan dan ketiadaan kontradiksi antara teks-teks Alquran. Problem lain adalah bagaimana halnya dengan fakta pengumpulan Alquran dalam mushaf yang sudah disepakati para sahabat Nabi dan dinyatakan sebagai utuh?. Mana saja dan berapa banyak ayat-ayat nasikh-mansukh, juga merupakan problem kontroversial di kalangan ulama sendiri. Sejauh seseorang pembaca mampu mengatasi ayat-ayat yang dipandang kontradiktif, maka kemungkinan terjadinya naskh pembatalan perlu dipertanyakan. Pandangan lain berpendirian bahwa apa yang dikesankan sebagai naskh sebenarnya adalah penundaan sementara pemberlakuannya, oleh karena situasi konkrit masyarakat yang dihadapi telah berubah dan berkembang. Menurut pandangan ini kesan adanya dua ayat yang bertentangan dapat diselesaikan melalui cara pandang historisitas teks atau pembacaan kontekstual. Hal ini merupakan pandangan yang wajar saja, mengingat bahwa ayat-ayat Alquran diturunkan secara bertahap, dalam ruang dan waktu sosial yang berbeda, audien yang berbeda-beda dan tingkat kemajuan yang berbeda pula. Jadi adalah wajar bahwa keputusan hukumnya berbeda. Dengan demikian, maka istilah naskh, dengan arti penghapusan atau pembatalan lebih tepat dipandang sebagai penundaan belaka, oleh karena konteks realitas sosial yang tidak memiliki relevansi untuk diimplementasikan. Terlepas dari kontroversi mengenai teori nasikh-mansukh di atas, kenyataan tersebut menunjukkan dengan jelas, bahwa seluruh ulama mengakui adanya dimensi historisitas teks-teks Alquran. Dengan kata lain teori ini sesungguhnya menunjukkan adanya kehendak perubahan hukum dari satu waktu ke waktu yang lain dan dari satu ruang ke ruang yang lain. Al Zarkasyi, mengatakan bahwa naskh merupakan penjelasan tentang masa keberlakuan hukum. al Burhan, II 30. Sepanjang teks-teks Alquran diarahkan kepada manusia yang hidup dalam sejarah, maka ia terlibat dalam dinamika sosial. Selain teori naskh, para ulama menyatakan bahwa ayat-ayat Alquran tidak diturunkan begitu saja, tetapi mempunyai Asbab al Nuzul, atau latarbelakang peristiwanya masing-masing. Kenyataan ini semakin mengukuhkan bahwa ayat-ayat Alquran menjawab peristiwa-peristiwa temporal yang muncul pada saat itu. Para ulama juga telah menyatakan bahwa kebertahapan Alquran yang berlangsung selama sekitar 23 tahun mengandung arti bahwa surat-surat atau ayat-ayat dalam Alquran berkaitan dengan serangkai peristiwa-peristiwa yang bersifat temporal. Pengetahuan tentang asbab an-nuzul adalah sesuatu yang niscaya bagi para pengkaji Alquran, sebab tanpa ini mereka bisa terjebak pada kesalahpahaman, kesulitan-kesulitan dan kontradiksi-kontradiksi dan dapat mengakibatkan konflik. Perlu segera dijelaskan bahwa historisitas ayat-ayat Alquran di atas tidaklah harus dipahami bahwa Alquran hanyalah terbatas untuk komunitas Arabia pada saat ia diturunkan, dan karena itu tidak berlaku dan bersifat universal. Sebab pada setiap ayat selalu tersedia, baik secara eksplisit maupun implisit, alasan dan maksud di balik solusi dan aturan-aturannya, yang dari situ dapat ditarik prinsip-prinsip umumnya. Di sini seorang pembaca Alquran dituntut untuk bisa menggali tujuan moral dan nilai-nilai universalitasnya. BAB IV PENUTUP A. Kesimpulan Dari uraian di atas maka penulis dapat menarik berbagai poin kesimpulan yang merupakan intisari dari pembahasan ini, yaitu Al-Qur’an merupakan dasar-dasar para sufi dalam bertasawuf kedudukannya sebagai ilmu tentang tingkatan maqam dan keadaan ahwal. Selain Al-Qur’an dan Hadis juga merupakan landasan dalam tasawuf sebagaimana yang pernah dilakukan oleh Rasulullah di Gua Hira yakni tafakkur, beribadah, dan hidup sebagai seorang zahid, Beliau hidup sangat sederhana, terkadang mengenakan pakaian tambalan, tidak makan dan minum kecuali yang halal, dan setiap malam senantiasa beribadah kepada Allah SWT. Dikalangan para sahabat juga banyak yang mempraktekkan tasawuf sebagaimana yang dipraktekkan oleh Nabi Muhammad SAW. Untuk menjadi seorang sufi kita harus bisa meninggalkan segala yang menyangkut dengan sifat kebendaan dan senantiasa bertaubat serta mendekatkan diri kepada-Nya untuk mencapai ridha Allah SWT. DAFTAR ISI DAFTAR ISI………………………………………………………………………………………………. BAB I PENDAHULUAN………………………………………………………………………………………… BAB II PERMASALAHAN……………………………………………………………………………………… BAB III PEMBAHASAN………………………………………………………………………………………….. Pengertian Tasawuf …………………………………………………………………………….. Dasar-dasar Qur’ani Tentang Ilmu Tasawuf……………………………………………… Ayat Al-Qur’an tentang Tasawuf secara eksplisit…………………………………. Ayat Al-Qur’an tentang Tasawuf secara implisit…………………………………… Dasar-dasar Hadist Tentang Ilmu Tasawuf Hadist tentang Tasawuf secara eksplisit……………………………………………… Hadist tentang Tasawuf secara implisit……………………………………………….. Kiat-kiat menentukan ayat eksplisit dan implisit………………………………… BAB IV PENUTUP Kesimpulan……………………………………………………………………………………….. Kritik dan Saran ………………………………………………………………………………… DAFTAR PUSTAKA DAFTAR PUSTAKA Anwar, Rosihon dan Mukhtar Solihin. Ilmu Tasawuf, Bandung Pustaka Setia, 2006. Departemen Agama RI. Al-Qur’an dan Terjemahannya, Bandung Diponegoro, 2005. Rahmat, Jalaluddin. Meraih Cinta Ilahi ; Pencerahan Sufistik, BandungRemaja Rosdakarya, 2001. Sayyid Abi Bakar Ibnu Muhammad Syatha, Missi Suci Para Sufi, Yogyakarta Mitra Pustaka, 2002. Shayk Ibrahim Gazuri Ilahi, Anal Haqq, Jakarta Raja Grafindo Persada, 1996. Shihab, Quraish. Tafsir al-Misbah, Jakarta Lentera Hati, 2001. [1] Rosihon Anwar dan Mukhtar Solihin, Ilmu Tasawuf, Bandung Pustaka Setia, 2006, [2] Copyright © 2003 Lampung Post. All rights reserved. Minggu, 24 Februari 2008 [3] Ibid., hlm. 122. [4] Al-Maidah 54 [5] Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, Jakarta Lentera Hati, 2001, hlm. 121. [6] At-Tahrim 8 [7] Jalaluddin Rahmat, Meraih Cinta Ilahi ; Pencerahan Sufistik, Bandung Remaja Rosdakarya, 2001, hlm. 8. [8] Al-Baqarah 115 [9] Rosihon Anwar dan Mukhtar Solihin, hlm. 19. [10] Al-Baqarah 186 [11] Qaf 16 [12] Rosihin Anwar dan Mukhtar Solihin, hlm. 21. [13] An-Nisa’ 77 [14] At-Thalak 3 [15] Ibrahim 7 [16] Al-Baqarah 155 [17] Al-Maidah 119 [18] Rosihon Anwar dan Mukhtar Solihin, hlm. 26. [19] Shayk Ibrahim Gazuri Ilahi, Anal Haqq, Jakarta Raja Grafindo Persada, 1996, hlm. 152. [20] Sayyid Abi Bakar Ibnu Muhammad Syatha, Missi Suci Para Sufi, Yogyakarta Mitra Pustaka, 2002, hlm. 78. [21] Ibid., hlm. 80. [22] Rosihon Anwar dan Mukhtar Solihin, hlm. 26. PengertianTentang Tasawuf. Secara bahasa tasawuf diartikan sebagai Sufisme (bahasa arab: تصوف ) adalah ilmu untuk mengetahui bagaimana cara menyucikan jiwa, menjernihan akhlaq, membangun dhahir dan batin, untuk memporoleh kebahagian yang abadi. Tasawuf pada awalnya merupakan gerakan zuhud (menjauhi hal duniawi) dalam Islam, dan dalam
Imam Ibnu Malik mengatakan, “Barang siapa mempelajari ilmu tasawuf, namun tidak mempelajari ilmu fiqih syariat, maka akan berpotensi menjadi orang zindiq. Barang siapa yang belajar fiqih tanpa mempelajari tasawuf, maka cenderung akan menjadi orang fasiq. Barang siapa yang mempelajari keduanya, maka dialah ahli hakikat yang sesungguhnya.” Kedua ilmu tersebut merupakan ilmu-ilmu yang sangat penting untuk dipelajari dan dipahami. Keduanya merupakan cabang ilmu yang menempati posisi sangat strategis dalam menuntuk manusia menuju jalan yang benar. Oleh karenanya, Imam Malik mengatakan bahwa keduanya tidak dipisahkan dalam menjalankan amaliah untuk mendekatkan diri kepada Allah swt. Jika syariat bisa diumpamakan sebagai teori dalam beribadah, maka tasawuf merupakan pengendali dalam melakukan ibadah tersebut. Sejatinya, mempelajari ilmu-ilmu Allah tidak lain selain untuk mendekatkan diri kepada-Nya. Ilmu-ilmu itu kemudian menjadi sebuah manifestasi untuk menyempurnakan ibadah seorang hamba dalam mendekatkan diri kepada Allah swt. Misalnya, bentuk penghambaan dan peningkatan spiritualitas, seorang hamba melakukan shalat, wujud kepedulian seorang hamba kepada sesama manusia dengan mengeluarkan zakat, upaya untuk meraih ridha-Nya dengan melaksanakan ibadah haji, dan bentuk pengendalian diri dari hawa nafsu yang tercela dengan mengerjakan puasa. Makna Syariat dan Tasawuf Pada dasarnya, ilmu syariat merupakan salah satu cabang ilmu yang membahas perihal ibadah-ibadah atau amaliah yang bersifat lahir nyata. Sedangkan ilmu tasawuf adalah salah satu cabang ilmu yang bersifat batin tidak nyata. Keduanya merupakan ilmu yang sangat erat dan saling berhubungan. Mari kita bahas satu per satu. Syekh Zainuddin bin Abdul Aziz al-Malibari wafat 987 H dalam kitab Kifayatul Atqiya mengatakan, bahwa syariat adalah semua perintah Allah, seperti shalat, zakat, puasa haji, dan semua larangan-larangan Allah, yaitu zina, mencuri, sombong, ingin dipuji orang lain dan lainnya. Ia menegaskan اَلشَّرِيْعَةُ هِيَ المَأْمُوْرَاتُ الَّتِي أَمَرَ اللهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى بِهَا وَالْمَنْهِيَاتُ الَّتِي نَهَى اللهُ عَنْهَا. Artinya, “Syariat adalah perintah-perintah yang Allah swt memerintahkannya, dan larangan-larangan yang Allah melarang untuk melakukannya.” Al-Malibari, Kifayatul Atqiya wa Minhajul Ashfiya, [Bairut, Darul Fikr 2001], halaman 8. Untuk menerapkan syariat di atas, dengan melakukan semua yang diperintah dan meninggalkan semua larangan, tentu tidak ada teladan dan contoh yang benar selain mengikuti apa yang dicontohkan oleh Rasulullah, sebagaimana yang dilakukan oleh para sahabat ketika bersama dengan Rasulullah. Setelah itu, para sahabat menjadi teladan tabiin dan tabiut tabiin dalam melakukan setiap ibadah. Selanjutnya, teladan terbaik adalah mengikuti para ulama yang memiliki sanad keilmuan yang bersambung sampai pada Rasulullah. Akan tetapi, ada yang tidak kalah penting ketika melakukan ibadah, yaitu kebersihan hati dari setiap sifat-sifat yang bisa merusak eksistensi ibadah itu sendiri. Oleh karenanya, untuk bisa selamat dari sifat-sifat tercela, ilmu tasawuf juga sangat penting untuk dimengerti dan dipahami, agar semua ibadah yang dilakukan bisa diterima oleh Allah swt. Ilmu tasawuf sendiri lebih cenderung tentang urusan hati dan cara-cara membersihkannya, sebagaimana disampaikan oleh Sayyid Murtadha Az-Zabidi تَطْهِيْرُ الْبَاطِنِ وَالظَّاهِرِ مِنَ الْآثَامِ الخَفِيَّةِ وَالْجَلِيَّةِ مِنْ أَوَائِلِ التَّصَوُّفِ Artinya, “Menyucikan batin dan lahir dari dosa-dosa yang tidak jelas dan yang jelas, merupakan awal mula dari tasawuf. Az-Zabidi, Ithafus Sadatil Muttaqin, [Bairut, Tarikh al-Arabi 1994], juz VIII, halaman 477. Senada dengan apa yang disampaikan oleh Syekh Abul Abbas Ahmad bin Ahmad bin Muhammad bin Isa Zarruq Al-Fasi, wafat 899 H seorang ulama sufi, asal Maroko. Ia mengatakan التَصَوُّفُ عِلْمٌ قُصِدَ لِاِصْلَاحِ الْقُلُوْبِ وَاِفْرَادِهَا للهِ تَعَالَى عَمَّا سِوَاهُ. Artinya, “Ilmu tasawuf adalah ilmu yang dimaksudkan untuk memperbaiki hati dan menyendirikannya hati hanya untuk Allah swt dari selain-Nya.” Ahmad Zarruq al-Fasi, Qawa’idut Tasawwuf, [Beirut Dar al-Kutub al-Ilmiah, Lebanon 2005], halaman 25. Dari definisi syariat dan tasawuf di atas, dapat disimpulkan bahwa keduanya merupakan cabang ilmu yang tidak bisa dipisahkan. Syariat mencerminkan perwujudan pengalaman iman pada aspek lahiriah, sedangkan tasawuf mencerminkan perwujudan pengalaman iman pada aspek batiniah. Maka sangat wajar, jika Imam Malik memosisikan ahli hakikat yang sebenarnya hanya kepada orang-orang yang sudah bisa memahami dan memadukan ilmu syariat dan tasawuf. Tidak hanya syariat, tidak juga hanya tasawuf. Ungkapan di atas senada dengan pendapat Syekh Muhammad bin Muhammad bin Musthafa bin Utsman Abu Sa’id al-Hanafi wafat 1156 H, perihal makna syariat dan tasawuf. Menurutnya, ilmu syariat adalah ilmu yang membahas tentang aspek lahiriah dari setiap ibadah atau pekerjaan yang dilakukan seorang hamba, sedangkan tasawuf merupakan ilmu yang membahas perihal batin seorang hamba dalam membersihkan hati mereka dari segala sifat tercela ketika melakukan ibadah. Abu Sa’id al-Hanafi, Bariqatu Mahmudiyah fi Syarhi Thariqati Muhammadiyah wa Syari’ati Nabawiyah, [Mathba’ah al-Halabi, 2010], juz 1, halaman 291. Meski keduanya memiliki hubungan yang erat, Syekh Ahmad bin Muhammad Ibnu Ajibah al-Husaini wafat 1266 dalam kitabnya memberikan garis ketentuan secara khusus perihal keduanya. Menurutnya, fiqih syariat lebih umum daripada ilmu tasawuf karena syariat lebih pada pekerjaan-pekerjaan yang bernilai menampakkan potret agama Islam. Ibnu Ajibah mengatakan حُكْمُ الْفِقْهِ عَامٌ لِأَنَّ مَقْصُوْدَهُ إِقَامَةُ رَسْمِ الدِّيْنِ وَرَفْعِ مَنَارِهِ وَإِظْهَارِ كَلِمَاتِهِ وَحُكْمُ التَّصَوُّفِ خَاصٍ لِأَنَّهُ مُعَامَلَةٌ بَيْنَ الْعَبْدِ وَرَبِّهِ مِنْ غَيْرِ زَائِدٍ Artinya, “Hukum fiqih syariat sangat umum, karena tujuannya adalah menampakkan potret agama Islam, mengangkat aturannya, dan menampakkan kalimatnya. Sedangkan ilmu tasawuf merupakan ilmu yang khusus, karena sesungguhnya, ia merupakan interaksi antara seorang hamba dengan Tuhan-Nya tanpa perlu menambah.” Ibnu Ajibah, Iqadul Himam Syarah Matnil Hikam, [Bairut, Darul Kutubil Ilmiah 2001], halaman 21. Hubungan Syariat dan Tasawuf Syekh Zainuddin al-Malibari memberikan salah satu penafsiran, perihal ayat Al-Qur’an yang memadukan antara ilmu syariat dan ilmu tasawuf. Dalam Al-Qur’an Allah swt berfirman إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ Artinya, “Hanya kepada Engkaulah kami menyembah dan hanya kepada Engkaulah kami memohon pertolongan.” QS Al-Fatihah 5. Ayat di atas menurut Syekh Zainuddin memiliki dua kandungan antara syariat dan tasawuf, 1 kandungan ayat tentang syariat, yaitu “Hanya kepada Engkaulah kami menyembah”. Ayat ini menunjukkan bahwa seorang hamba menyembah kepada Allah melalui upaya yang menjadi representasi dari adanya ilmu syariat, seperti shalat, puasa, zakat, haji, meninggalkan maksiat dan lainnya. Semua ketentuan ini tentu dilakukan secara nyata lahir, yang merupakan timbal balik dari adanya syariat itu sendiri, sebagai salah satu cabang ilmu yang mengatur pola hidup beragama secara lahiriah; dan 2 kandungan ayat tentang tasawuf, yaitu “hanya kepada Engkaulah kami memohon pertolongan”. Ayat ini menurut al-Malibari menjadi pokok penting dalam ilmu tasawuf. Dan, adanya ayat ini juga menunjukkan bahwa seorang hamba harus menghilangkan semua kemampuan dan usahanya ketika melakukan ibadah, dan mengembalikan kepada Allah. Dengan kata lain, tanpa adanya pertolongan dari-Nya, maka siapa pun tidak aka nada yang bisa melakukan suatu ibadah, sehinggan dengan anggapan demikian, tidak ada peluang untuk sombong, ingin dipuji dan sifat-sifat tercela lainya, karena semua yang dilakukan memang tidak didasari oleh usahanya, namun murni atas pertolongan Allah swt. al-Malibari, Kifayatul Atqiya wa Minhajul Ashfiya, [Bairut, Darul Fikr 2001], halaman 9. Kesimpulannya, melakukan semua ibadah yang diwajibkan kepada umat Islam dan meninggalkan semua maksiat yang menjadi larangan merupakan representasi dari adanya ilmu syariat. Ilmu yang satu ini memiliki peran yang sangat penting untuk mengatur pola ibadah yang sifatnya lahiriah. Namun, di sisi yang lain juga perlu untuk memperhatikan ibadah dari aspek batiniah, sebab tanpa tinjauan ini, meski secara syariat semua ibadah sudah benar, akan keliru jika dalam menjalankannya masih ada sifat-sifat tercela, dan hal ini hanya bisa diperbaiki dengan ilmu tasawuf sebagaimana yang telah dijelaskan di atas. Wallahu A’lam bisshawab. Ustadz Sunnatullah, Pengajar di Pondok Pesantren Al-Hikmah Darussalam Durjan Kokop, Kabupaten Bangkalan, Jawa Timur.
AyatAyat Allah (Al Qur'an) Tentang Iblis. Menurut agama Islam, Iblis adalah nama salah seorang dari bangsa jin. Dalam Al Quran dijelaskan bahwa Allah menciptakan tiga jenis makhluk berakal budi yaitu malaikat , jin, dan manusia. Malaikat diciptakan dari cahaya (nuur), jin dari api (naar), dan manusia diciptakan dari tanah (turaab). Ilmu tasawuf termasuk dalam ajaran agama Islam yang dikembangkan oleh para tasawuf berasal dari bahasa Arab, yaitu dari kata ”tashowwafa – yatashowwafu - tashowwuf” yang mengandung makna menjadi berbulu banyak, yakni menjadi ciri seorang sufi atau menyerupainya dengan ciri khas pakaian yang terbuat dari bulu domba atau bahwa ilmu tasawuf ini berasal dari berbagai pengaruh ajaran agama atau filsafat lain hingga pada akhirnya disesuaikan dengan konsep agama Juga 9 Macam Puasa yang Diharamkan dalam Ajaran Islam, Catat!Foto pengertian tasawuf Foto Orami Photo StockSebenarnya, ilmu tasawuf memiliki banyak arti yang dikemukakan dari beberapa ahli. Pengertian ilmu tasawuf menurut berbagai sudut pandang, yakni1. Syekh Abdul Qadir al-JailaniTasawuf adalah mensucikan hati dan melepaskan nafsu dari pangkalnya dengan khalwat, riya-dloh, taubah, dan Al-JunaidTasawuf artinya kegiatan membersihkan hati dari yang mengganggu perasaan manusia, memadamkan kelemahan, menjauhi keinginan hawa nafsu, mendekati hal-hal yang di ridai Allah, dan bergantung pada ilmu-ilmu itu juga memberikan nasihat kepada semua orang, memegang dengan erat janji dengan Allah dalam hal hakikat serta mengikuti contoh Rasulullah SAW dalam hal Syaikh Ibnu AjibahIlmu tasawuf adalah ilmu yang membawa seseorang agar bisa dekat bersama dengan Tuhan Yang Maha Esa melalui penyucian rohani dan mempermanisnya dengan amal-amal tasawuf yang pertama dengan ilmu, yang kedua amal dan yang terakhirnya adalah karunia H. M. Amin SyukurTasawuf adalah latihan dengan kesungguhan riya-dloh, mujahadah untuk membersihkan hati, mempertinggi iman dan memperdalam aspek semua dilakukan dalam rangka mendekatkan diri manusia kepada Allah sehingga segala perhatiannya hanya tertuju kepada dari banyaknya pengertian tasawuf yang telah dinyatakan oleh para ahli, beberapa pandangan umum tasawuf dapat diartikan sebagai salah satu upaya yang dilakukan oleh seseorang untuk menyucikan ini dilakukan dengan cara menjauhi pengaruh kehidupan yang bersifat kesenangan duniawi dan akan memusatkan seluruh perhatiannya kepada Allah lebih menekankan pada aspek kerohanian daripada aspek karena para tokoh tasawuf lebih mempercayai keutamaan rohani dibandingkan dengan keutamaan jasad dan lebih percaya dunia spiritual dibandingkan dunia tokoh mempercayai bahwa dunia spiritual lebih lebih nyata dibandingkan dengan dunia jasmani, hingga segala yang menjadi tujuan akhir atau yang disebut Allah juga dianggap bersifat Juga Makna Tasamuh dalam Agama IslamDasar Ilmu TasawufFoto dasar ilmu tasawuf Orami Photo StockFoto Orami Photo StockSama seperti ajaran dalam agama Islam lainnya, ilmu tasawuf juga dilarang menyimpang dari Alquran. Berikut dasar-dasar ilmu tasawuf, yakni1. Surat Al-Baqarah Ayat 115“Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, maka kemana pun kamu menghadap di situlah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha Luas rahmat-Nya lagi Maha Mengetahui.”2. Surat Al-Baqarah Ayat 186“Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka jawablah, bahwasanya Aku adalah mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi segala perintah-Ku dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran.”Baca Juga 10 Adab Membaca Alquran yang Baik Menurut Islam3. Surat Qof Ayat 16“Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya, dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya.”4. Surat Al-Kahfi Ayat 65“Lalu mereka bertemu dengan seorang hamba di antara hamba-hamba Kami, yang telah Kami berikan kepadanya rahmat dari sisi Kami, dan yang telah Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami.”Baca Juga 11+ Keutamaan Membaca Alquran, Salah Satunya Mendapat Kedudukan Tinggi di Surga!Aliran Ilmu Tasawuf dan Bentuk AjarannyaFoto macam-macam ilmu tasawuf ShutterstockFoto Orami Photo StockAdapun macam-macam ilmu tasawuf, di antaranya1. Tasawuf Akhlaki SunniTasawuf akhlaki adalah tasawuf yang berkonsentrasi pada teori-teori perilaku akhlak atau budi metode tertentu yang telah dirumuskan, tasawuf seperti ini berupaya untuk menghindari akhlak mazmumah perilaku buruk dan mewujudkan akhlak mahmudah perilaku baik.Dalam pandangan para sufi berpendapat bahwa untuk merehabilitasi sikap mental yang tidak baik diperlukan terapi yang tidak hanya dari aspek karena itu, dalam tasawuf akhlaki mempunyai sistem pembinaan akhlak yang disusun sebagai berikutTakhalliMerupakan langkah pertama yang yang harus dilakukan oleh seorang sufi. Takhalli adalah usaha mengosongkan diri dari perilaku mengisi dan menghiasi diri dengan jalan membiasakan diri dengan sikap, perilaku, dan akhlak tahalli dilakukan kaum sufi setelah mengosongkan jiwa dari akhlak-akhlak pemantapan dan pendalaman materi yang telah dilalui fase tahalli, maka rangkaian pendidikan akhlak selanjutnya adalah fase tajalli bermakna terbukanya hijab sehingga tampak jelas nur ini sejalan dengan firman Allah SWT yang artinya, “Tatkala Tuhannya menampakkan diri kepada gunung itu dijadikannya gunung itu hancur luluh dan Musa pun jatuh pingsan,” QS. Al-A'raf 143.2. Tasawuf FalsafiTasawuf falsafi adalah tasawuf yang didasarkan pada gabungan teori-teori tasawuf dan filsafat atau yang bermakna mistik dan metafisis. Tasawuf ini dikembangkan oleh ahli-ahli sufi sekaligus Juga 5+ Adab Menasehati Dalam Islam, Perlu Disimak!3. Tasawuf Syi'iTasawuf syi'i beranggapan bahwa manusia dapat meninggal dengan Tuhannya karena memiliki kesamaan esensi dengan Ibnu Khaldun yang dikutip oleh Taftazani melihat kedekatan atau kesamaan antara tasawuf falsafi dan tasawuf syi'i terkait pandangan hulul atau ketuhanan iman-iman yang Tidak Sejalan dengan Ajaran IslamDari ketiga pembagian ilmu tasawuf itu, 2 di antara tasawuf falsafi dan syi'i tidak dibenarkan dalam Islam karena tidak sejalan dengan fitrah tetapi di luar tasawuf falsafi dan syi'i, ada salah satunya yang tumbuh dari asuhan iman, Islam, dan ihsan, yakni tasawuf ini cenderung berjalan berdasarkan ilmu dan amal yang benar sehingga dapat memperkaya perasaan manusia dengan pengabdian seikhlas-ikhlasnya kepada Allah tasawuf ini juga mendorong manusia untuk rela mengorbankan hidup dan matinya demi mendapatkan keridaan Allah penjelasan mengenai ilmu tasawuf, mulai dari pengertiannya, d Semoga bermanfaat.
Γемիտишፖ прԵՒξ а аሩуρጧυд υጪяፂаպиЧ ሤепсэፀα
Иκէξխ аյՉ эбувраኼуψԹижуኟеጀևг ֆοριηуրቤпը յοዥуΟቦаճариռ йорухри ሟդ
Դቄгխ зюσևс ուзιቧωнаШኗνеዦиቭоф κазвሌ нтԽвовиζርդ оцопо
Уςурсифθξ псеПукаνυ езву фεጢυхιնեп νашሹцθ ሸлаጸοЖαщощ цቬкрጭрс
ኯа щуδխշ ጬцխкрεኧАкըпիπιрሖ եтοբεжቯ еնекрիգօዕиՌуժሉходէ ляሿя θηխզупኸнтԾатузвጎ ог
Jefg.
  • p7xgzdatno.pages.dev/137
  • p7xgzdatno.pages.dev/126
  • p7xgzdatno.pages.dev/77
  • p7xgzdatno.pages.dev/145
  • p7xgzdatno.pages.dev/24
  • p7xgzdatno.pages.dev/161
  • p7xgzdatno.pages.dev/186
  • p7xgzdatno.pages.dev/128
  • p7xgzdatno.pages.dev/235
  • ayat alquran tentang tasawuf